Scientivist Note #3
Solo sungguh punya cerita untuk selalu dikunjungi, mulai dari lomba, youth forum, hingga sekadar mencari bahan untuk kebaya.
Saya sudah cukup sering datang ke Solo, namun baru kali ini agak selow dan santai. Kesempatan ini datang ketika Ahad lalu saya memenuhi permintaan kawan dari Kastrat de Geneeskunde (sebuah lembaga kajian ilmiah dan penelitian mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS) untuk tampil dalam salah satu rangkaian acara temu pengurus harian mereka.
Minggu ini acara memang cukup padat merayap, dari pembekalan koass, tes kesehatan, tes kejiwaan/psikiatri, rapat KOMMAPRES, seminar dalam rangka dies natalis, bertugas menjadi reporter hingga menyempatkan diri untuk bertandang ke kota Solo.
Berangkat pagi dari Stasiun Lempuyangan menuju ke Stasiun Solo Balapan menggunakan kereta sejuta umat para penglajo Solo-Yogyakarta : Prambanan Ekspress. Menaiki kereta ini, teringat akan cerita bahwa kereta Prameks adalah kereta yang pertama kalinya saya naiki setelah kurang lebih 13 tahun tidak naik kereta. Yap! Terakhir kali saya naik kereta adalah ketika usia 7 tahun, dalam perjalanan Semarang-Jakarta dengan kereta ekonomi. November 2012 lah saya mulai kembali akrab dengan kereta dan kereta yang pertama kali saya naiki adalah Prameks.
So much change!
Kereta 13 tahun yang lalu, sangat jauh berbeda dengan sekarang. Teringat betul ketika 13 tahun yang lalu menaiki kereta kelas ekonomi dengan kondisi yang tak karuan. Lebih banyak orang berdiri ketimbang yang duduk. Sekarang ? Terbilang bisa dikatakan semua dapat kursi untuk duduk, meskipun sebagian ada yang masih duduk dengan menggelar kertas koran bekas. Namun, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Sekarang juga sudah dilengkapi AC yang terasa sangat dingin kalau dinyalakan pagi-pagi buta seperti ini.
Scientivist
Kunjungan saya ke Solo bukan untuk membahas kereta lagi, melainkan untuk berdiskusi dengan para calon-calon Scientivist. Saya sebut mereka (calon) Scientivist karena memang mereka memiliki bakat untuk menggabungkan soft skills sebagai seorang Scientist (ilmuwan) dan kemampuan seorang Activist. Mindset sebagai Scientivist inilah yang saya harap dimiliki oleh teman-teman yang nanti memilih untuk terjun di Badan Analisis dan Pengembangan Ilmiah Nasional - Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (BAPIN-ISMKI). Ketimbang menjuluki mereka sebagai BAPIN-ers, saya lebih prefer memberi mereka nama scientivist sesuai platform gerakan yang nantinya mereka jalani.
Konsep scientivist ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, contoh konkret juga sudah ada. Bukan figur yang sembarangan, kalangan teknokrat tulen, beliau Prof. Dr.Ing, Bacharuddin Jusuf Habibie. Habibie lah yang menurut saya paling pas menggambarkan konsep scientivist ideal yang ada di benak saya. Sosok yang mampu memadukan soft skills seorang scientist (ilmuwan) yang dalam setiap gerakannya harus berlandaskan asas keilmiahan, mampu menganalisis dan menemukan masalah utama, cara kerja yang dapat dipertanggung jawabkan, berdasarkan data fakta yang riil, pengambilan keputusan yang sistematis, dan yang paling penting integritas. Integritas inilah nilai yang selalu dijunjung tinggi oleh para scientist di seluruh dunia. Karena memang dalam setiap tindakan dalam upaya-upaya penelitian mereka harus berlandaskan kejujuran dan kejujuran. Sekali mereka tidak jujur, reputasi nama baik dipertaruhkan. Habibie juga dinilai memiliki soft skills mumpuni seorang activist dimana beliau bekerja bukan mengatasnamakan pribadi, golongan, melainkan untuk kebaikan seluruh rakyat. Vokal dan lantang dalam berbicara, kebijakan-kebijakan yang sifatnya praktis aplikatif a la activist. Dan, yang paling penting penguasaan terhadap aspek lain di luar bidang keilmuan yang beliau miliki seperti sosial, politik, dan ekonomi!
Platform inilah yang saya harap mereka nanti bisa terapkan hingga bahkan setelah mereka terjun di dunia pasca kampus. Karena bagi saya, upaya memahami konsep inilah yang paling penting untuk dilakukan saat ini. Dan, di depan saya kemarin berkumpul calon-calon scientivist itu. Mereka hanya butuh pengalaman dan waktu saja. Saya hanya tidak ingin melihat calon-calon scientivist itu tidak mengenal dirinya sendiri. Saya tidak ingin keikutsertaan mereka dalam lembaga kajian ilmiah dan riset hanya berlandaskan "ngikut" teman, untuk gaya-gayaan, atau bahkan ikut lembaga tersebut cuma ingin supaya tidak dicap apatis! Nope!
Antusiasme itulah yang ingin saya tularkan, konsep inilah yang ingin saya bagikan, dan nilai inilah yang ingin saya tekankan kepada adik-adik saya, teman sejawat saya di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Perjuangan melahirkan scientivist belum usai, bahkan baru saja dimulai.
Hingga akhirnya waktu menunjukkan pukul 12.00 siang pas. Mendiskusikan konsep ini tidak akan pernah habis, hingga perut saya meraung-meraung minta makan siang. Sate buntal adalah makanan pertama yang ingin saya cicipi siang ini. Karena kunjungan terakhir saya ke Solo yang tidak sempat mencicipi kuliner yang satu ini, saya jadi ngidam hingga sekarang.
Begitulah kunjungan saya ke Solo. Antara Solo, Scientivist, dan Sate (Buntal). (*)
| Mengenalkan BAPIN-ISMKI sedikit mengenalkan konsep Scientivist |
| Sesi foto bersama dengan mahasiswa FK UNS 2014 |
Dibuat oleh : Aditya Doni
Pada : 9 Maret 2015
Diupdate : 10 Maret 2015


0 comments:
Posting Komentar