Senin

Dokter yang D.O.K.T.E.R

Scientivist Note #8

Scientivist --Tempo hari yang lalu saya diminta menjadi salah satu perwakilan dari mahasiswa program studi Pendidikan Dokter untuk mengikuti workshop tertutup mengenai penyusunan Situational Judgement Test (SJT). SJT ini sendiri rencananya akan diterapkan di Fakultas Kedokteran UGM dalam beberapa tahun kedepan. SJT ini sebenarnya merupakan salah satu toolkit yang dikembangkan berbasis analisis psikometrik untuk menilai atau menguji partisipan apabila partisipan ditempatkan dalam suatu kondisi tertentu, bagaimana si partisipan tersebut merespon kondisi tersebut. Pilihannya diurutkan berdasarkan "Most effective/favorable" hingga "Least effective/favorable" menurut partisipan. Dalam SJT ini tidak dikenal jawaban benar atau salah.

SJT ini digadang-gadang dapat menjadi alat screening yang valid dalam menilai kecenderungan attitude dari mahasiswa yang kelak akan menjadi dokter lulusan FK UGM yang konon katanya salah satu FK terbaik se-Indonesia. Attitude bagi seorang dokter merupakan hal yang wajib dijunjung tinggi, karena di lapangan dokter akan berhadapan dengan pasien dengan segala problematika baik sosial, ekonomi hingga masalah inti pasien datang ke seorang dokter : penyakit (disease). Terkadang dokter sudah benar memberikan terapi yang sesuai dengan standar pengobatan, namun pasien bisa memandang dokter sebagai seorang yang tidak sopan apabila cara berperilaku atau bersikap (attitude) kita tidak baik dimata pasien.

Saya tidak ingin membahas lebih lanjut mengenai SJT atau permasalahan attitude, justru ada hal menarik yang ingin saya ceritakan. Barangkali bukan cerita tentang SJT atau attitude yang menarik perhatian saya. Perhatian saya tertuju pada salah satu sosok yang juga dosen, senior sekaligus sejawat saya. Beliaulah dr. H. Edy Moeljono, Sp.Rad(K). Saya memang belum pernah mendapat kuliah hand-on langsung dari beliau, tapi justru pada kesempatan workshop yang singkat itu saya bisa mengenal beliau lebih dekat dengan pemikirannya.

Sejawat yang merupakan dokter alumnus Christian-Albrechts-Universität zu Kiel (Kiel University) Jerman memberikan pandangan yang cukup menyentak pemikiran saya waktu itu. Ada beberapa poin yang sempat saya ingat dari apa yang beliau sempat share-kan kepada kami.

Pergeseran Ideologi : Idealis menjadi Pragmatis-praktis

Adanya pergeseran tradisi belajar yang semula berkiblat pada buku teks kini bergeser menjadi slide-oriented atau diktat. Dari sini beliau mulai menilai adanya kecenderungan pergeseran ideologi mahasiswa yang semula idealis menjadi pragmatis-praktis. Banyak yang berdalih jika membaca textbook justru hanya buang-buang waktu, dan justru apa yang dibaca tidak keluar dalam ujian. Sah-sah saja memang jika ada yang berpendapat demikian. Namun, justru yang perlu ditekankan dalam esensi belajar adalah paham secara komprehensif terhadap materi yang didapatkan dan dapat menghubungkannya dengan materi-materi yang pernah diajarkan sebelumnya. Di textbook lah sebenarnya pemahaman komprehensif itu dapat dicapai. Textbook jadi bukti shahih dalam belajar karena dalam penyusunannya melibatkan banyak pakar, dimana disana tercapai konsensus dalam merumuskan apa yang akan ditulis. Sedangkan, slide dosen sifatnya hanya untuk membantu mempermudah pemahaman mahasiswa dalam mempelajari textbook. Dari pendapat yang saya sebutkan sebelumnya, memang terlihat bagaimana kecenderungan banyak mahasiswa mulai berpikir pragmatis-praktis ketimbang idealis. "Ideologi pragmatis-praktis menjadi sangat berbahaya jika dibiasakan secara terus menerus, dari sana berangkatlah keinginan serba instan serba cepat dalam memperoleh segala sesuatu yang diinginkan", ujar dokter yang menekuni radiologi (anak) ini. 

Fenomena split on ideas yang semakin majemuk

Banyak peraturan dirumuskan namun justru banyak pula yang dilanggar oleh para perumusnya. Begitulah kira-kira apa yang menjadi kekhawatiran dokter Edy. Fenomena split on ideas yang makin majemuk. Dalam kesempatan singkat tersebut beliau yang juga sempat menjadi Kepala Bagian Radiologi FK UGM-RSUP. Dr Sardjito menuturkan pengalaman beliau yang sempat mengenyam pendidikan dibawah Prof. Ismangoen, menuturkan bagaimana Prof. Ismangoen memberi contoh bagi juniornya dulu. Ketika peraturan mengharuskan pegawai atau dosen datang tepat pukul 07.30 WIB, Prof. Ismangoen bahkan sudah datang pukul 07.00 WIB. Mau tidak mau, suka tidak suka pegawai di Bagian Anak justru datang lebih awal dari Prof. Ismangoen. Budaya ewuh pakewuh masih terasa betul di jaman itu. Memang terkesan sangat tegas, tapi itulah budaya disiplin yang memang perlu ditanamkan pada para calon dokter khususnya di FK UGM.

"Jika ingin memperbaiki attitude mahasiswa, perbaiki lah dulu attitude kita. Karena dari sanalah mahasiswa mencontoh tiap perbuatan kita !", ungkapnya.

Dokter yang benar-benar D.O.K.T.E.R

Ada suatu yang justru menarik diakhir presentasi beliau. Bagaimana menjadi seorang dokter yang benar-benar D.O.K.T.E.R. Presentasi ini dibawakan begitu ringan oleh beliau, sehingga mudah untuk dicerna dan diingat oleh kami.


D = Disiplin. Parameter disiplin menjadi parameter yang sangat ditekankan disini. Mengingat profesi dokter adalah profesi yang berurusan dengan hidup dan matinya sesorang, parameter ini menjadi sangatlah penting. Disiplin terhadap waktu menjadi salah satu nilai yang wajib ditaati. Beliau menambahkan, disiplin yang diterapkan dan dicontohkan oleh Prof. Ismangoen di Departemen Ilmu Kesehatan Anak telah melahirkan orang-orang hebat di Departemen tersebut.

O = Optimis. "Bagaimana jadinya kalau dokter tidak memiliki rasa optimis ?" Kini hal tersebut menemui relevansinya. Ketika proses persaingan global terhadap tenaga kesehatan semakin menjadi-jadi. Penerapan ASEAN Economic Community 2015 menjadi awal globalisasi di tingkat ASEAN. Salah satu poin di dalamnya adalah mengatur mengenai harmonisasi arus barang dan jasa dari dan ke negara-negara ASEAN, tak terkecuali jasa di sektor kesehatan. Rasa-rasanya tidak ada lagi yang perlu kita risaukan untuk tetap berdiri optimis menghadapi persaingan global ini. Persaingan sudah di depan mata, memilih untuk pesimistis sama saja memilih untuk "bunuh diri" bukan ?.

K = Komprehensif.  Komprehensif yang dimaksudkan disini adalah menyeluruh. Alur berpikir sistemik (systemic thinking) menjadi pegangan baik mulai dari skala individualistik hingga yang menyangkut masyarakat dan pemerintahan. Di skala individualistik, dokter Edy mencontohkan bagaimana terjadi pergeseran tren proses terapi pada kebanyakan dokter yang lebih menitikberatkan simtomatik daripada terapi kausatif. "Jika ada anak datang dengan demam, jangan buru-buru diberi obat demam dan disuruh pulang. Cek dulu agen kausatif nya!", begitu ujarnya dengan sedikit penekanan. Karena memang pada prinsipnya, wrong diagnosis, wrong treatment. Untuk itu, mengapa penting bagi dokter untuk berpikir dan berkerja secara komprehensif disini.

T = Tanggung Jawab. Be responsible with what you have done! Dokter merupakan profesi luhur yang tiap hari berurusan dengan kesehatan manusia. Kita tidak boleh melepaskan diri terhadap baik dan buruk hasil yang kita terima, setelah kita melakukan sesuatu. Sikap inilah yang nanti akan tercermin sebagai kehati-hatian dokter dalam menentukan apa yang nanti akan diberikan kepada pasiennya.

E = Empati. Poin ini sering menjadi bahasan ketika masa pendidikan di pre klinik. Intinya pasien hanya ingin dimengerti. Pasien datang ke Anda dengan segala latar belakang penyakit dan sosioekonomik bertemu dengan Anda hanya ingin didengarkan dan disimak dengan baik apa yang Ia utarakan. Menjadi acuh bukanlah hal yang tepat, mengingat pasien datang ke Anda dengan stressor yang tinggi. Sehingga, pilihannya mulailah ber-empati dengan kondisi orang yang ada di hadapan Anda dan bangun ikatan batin dengan pasien Anda.

R = Ramah. Menjadi "ramah" seringkali dilupakan oleh dokter. Beban kerja berlebih, waktu istirahat yang kurang sering membuat dokter lupa untuk menjadi ramah. Banyak orang hanya ingin diperiksa oleh dokter, menceritakan keluhannya kepada dokter. Keramahan dokter seringkali juga mampu menjadi obat penawar bagi pasien kita yang sudah berlelah-lelah antri demi bertemu dengan dokter. Tak perlu berorientasi pada materi, berorientasi lah bahwa pasien adalah subjek bukan sebagai objek. Bayangkan diri Anda ditempatkan dalam situasi dan kondisi seperti yang pasien alami, maka Anda bisa lebih memperlakukan pasien dengan ramah.

Seketika itu pula saya teringat bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Menjadi dokter hanyalah satu diantara sekian banyak jalan yang dapat dipilih untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. "Niatkan lah apa yang kamu kerjakan sebagai ibadah, maka Gusti Allah akan menempatkanmu pada posisi yang mulia," begitulah pesan Bapak saya pernah sampaikan jauh-jauh hari. (*)

Dibuat oleh : Aditya Doni 
Pada : 27 April 2015  
Diupdate : -

Sensasi Menjajal Online Conference : Neuroscience 2015

Scientivist Note #7

Scientivist -- Suatu kebetulan mendapatkan informasi dari salah seorang sejawat yang juga merupakan senior (jauh) saya yang menekuni ilmu persarafan (neurosains) mengenai online conference ini. Hanya berbekal laptop dan koneksi internet, saya sudah bisa mengikuti teleconference dengan line up pembicara yang super awesome. Salah satunya ada bahkan ada pemegang nobel bidang kedokteran (2000) : Prof. Arvid Carlsson, MD, Ph.D. Jika kalian sering mendengar istilah "dopamine", beliaulah salah satu peneliti yang mampu menjelaskan pentingnya "dopamine" sebagai senyawa kimia saraf (neurotransmitter) dalam perjalanan penyakit Parkinson dan Schizophrenia.

BioConverence Live : Neuroscience 2015 (March 18-19, 2015)
Ada 15 pembicara yang berkesempatan untuk sharing tentang project mereka dalam conference ini. Rata-rata masing-masing pembicara diberikan kesempatan untuk memberikan presentasi dalam durasi selama satu jam. Untungnya ada fasilitas on-demand video, yang merupakan hasil rekaman teleconference sehingga saya tak harus menghabiskan semua materi dalam sekejap. Maklum saja, acuan waktu penyelenggaraan konferensi yang digunakan memakai standar waktu Pacific Time (GMT -8.00). Sehingga jika dikalkulasikan kurang lebih ada selisih waktu 15 jam dengan Waktu Indonesia Barat. Meskipun disana konferensi dimulai pagi hari, tetap saja di Indonesia baru dapat dilihat diatas pukul 23.00 WIB.

Neurosains memang bak bunga yang sedang mekar dan banyak orang meliriknya. Seperti yang sempat disampaikan dr. Irawan Satriotomo, Ph.D pada saat Kuliah Online I-4 : Neuroscience, Past, Present and Future (25 Januari 2015) penelitian di bidang neurosains sedang booming untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan. Salah satu yang sempat disinggung oleh dr. Irawan dalam kuliah tersebut dan juga oleh Prof. Walter Koroshetz dalam conference ini adalah BRAIN 2025 Project. BRAIN 2025 merupakan project penelitian Amerika yang langsung di launching sendiri oleh Presiden Barrack Obama. Peluncuran project ini mengingatkan kita mengenai project fenomenal yang pernah diluncurkan oleh pemerintah Amerika pada era 90-an : Human Genome Project (HGP). BRAIN 2025 menjadi project monumental yang sekaligus menandai kemajuan di bidang neurosains.
BRAIN Initiative Project yang akan didanai hingga tahun 2025.
Neuroscience 2015 diadakan berkat kerjasama dengan LabRoots.Inc yang merupakan situs jejaring para peneliti dunia. Neuroscience 2015 membahas banyak hal tentang neurosains seperti diantaranya Chemical Neuroanatomy, Emerging Therapies, Imaging Methods, Psychiatric Disorders; Autism, Multiple Sclerosis, Depression, Schizophrenia, OCD, Neurobiology, Anatomy, Basic Mechanisms, Techniques, Optogenetics, BRAIN initiative dan Translational Neuroscience.

Beberapa hal baru saya dapatkan seperti Emerging Therapies yang dapat menjadi alternatif dalam terapi Parkinson yakni Deep Brain Stimulation. Selain itu, juga dijelaskan pula dalam salah satu presentasi dari Anthony Grace, Ph.D mengenai Dopamine System Dysregulation in the Pathophysiology of Schizophrenia and Depression.

Interface pada saat mengikuti online conference : Neuroscience 2015

Ketidakmampuan mengelola stres dapat menyebabkan perubahan patologis dari hipokampus yang merupakan dasar dari munculnya skizofrenia pada saat dewasa. - Anthony Grace
Salah satu simpulan dari Anthony Grace, Ph.D yang bisa memberikan titik terang hubungan antara stres dengan perjalanan penyakit skizofrenia.

Last but not least, pada kesempatan ini LabRoots yang juga bekerjasama dengan Loma Linda University. School of Medicine memberikan Continuing Medical Education (CME) Credits bagi para partisipan.

Snapshot sertifikat CME Credit yang diberikan oleh Loma Linda University.
Saya menjadi tertarik untuk mengikuti online conference seperti ini lagi. Sambil mengisi waktu luang ditengah-tengah masa koassistensi, barangkali saja bisa kecantol dengan salah satu professor. (*)


Dibuat oleh : Aditya Doni 
Pada : 20 April 2015
Diupdate : -

Jumat

Online Lecture : Menulis dan Publikasi Systematic Review

Scientivist Note #6

Scientivist -- Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) akan mengadakan kuliah online dengan narasumber dr. Teguh Haryo Sasongko, Ph.D. Kuliah online kali ini akan mengambil tema Menulis dan Memublikasi Systematic Review dalam Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Beliau saat ini merupakan staf pengajar aktif di Human Genome Center, School of Medical Science, Universiti Sains Malaysia.

Kuliah online I-4 ini akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 25 April 2015 pukul 09.00 WIB dan dapat diakses melalui link ini.
Banner kuliah online I-4 : dr. Teguh Haryo Sasongko, Ph.D
Sekilas mengenai profil dr. Teguh, saya pernah mengikuti seminar dimana beliau menjadi narasumber. Pada waktu itu beliau menjadi pengisi di Simposium "Translational in Dermatology" yang diadakan oleh Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UGM - RSUP Dr. Sardjito pada 7 Maret 2015. Beliau menyampaikan presentasi dengan judul Considerations in Coverage and Resolution for Clinical Applications of Mutation Analysis : Lessons from Dermatology and Neuromuscular Disorders. Dalam presentasinya, beliau menekankan mengenai pentingnya teknologi molekuler dalam proses deteksi dini (screening) beberapa kelainan genetika yang berkaitan dengan penyakit kulit (Tuberous Sclerosis Complex) dan neuromuskular (Duchenne/Becker Muscular Dystrophy).
dr. Teguh Haryo Sasongko, Ph.D pada saat Simposium Translational in Dermatology
Apa yang beliau sampaikan memang sebagian besar mengenai genetika dan biologi molekuler karena bidang keahlian yang beliau tekuni lebih ke Genetika Molekuler (S3 di Kobe University, Jepang). Beliau sendiri sempat menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa FK UGM pada tahun 1999-2000 dan merupakan dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada tahun 2003. Merupakan salah satu dokter ahli genetika yang dimiliki Indonesia. Saat ini juga aktif menjadi pembicara mengenai Etika Kedokteran, Genetika Molekuler hingga Systematic Review.
Cochrane Systematic Review oleh dr. Teguh Haryo Sasongko, Ph.D
Jadi, jangan lewatkan kuliah online I-4 bersama salah satu dokter pakar genetika yang satu ini ya!

Dibuat oleh : Aditya Doni 
Pada : 17 April 2015 
Diupdate : -

Senin

Selamat Datang Net Gen Indonesia!

Scientivist Note #5

Scientivist -- Akhir tahun lalu UNFPA (United Nations Population Fund) merilis publikasi yang berisikan 21 anak muda Indonesia dengan kontribusi dan impact yang luar biasa terhadap masyarakat luas. Masing-masing memiliki platform pergerakannya sendiri, dan tentunya dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dengan tajuk 21 Inspiring Youth Leaders, mereka menunjukkan pesonanya masing-masing.

Kriteria "youth" yang ditetapkan oleh UNFPA Indonesia didasarkan pada usia mereka yang relatif muda saat mereka berkecimpung yakni 15-24 tahun. Mereka diseleksi langsung oleh UNFPA Youth Advisory Panel (YAP).

Apabila ingin sedikit lebih menelaah usia 15-24 tahun merupakan generasi yang oleh Don Tapscott disebut sebagai Net Generation atau Net Gen. Dalam bukunya, Grown Up Digital : How the Net Generation is Changing Your World, Tapscott meramalkan kemunculan Net Gen dan dampaknya terhadap masyarakat baik dari perspektif perusahaan, organisasi, hingga sosial kemasyarakatan.

Memang, sudah cukup banyak diskursus yang juga telah menelaah kemunculan Net Gen. Sudah banyak pula cerita yang membuktikan datangnya Net Gen dan impact yang mereka berikan. Ikon Net Gen terkenal sekaliber Mark Zuckerberg (Founder, Chairman & CEO Facebook) yang telah berjaya dengan Facebook-nya selama satu dekade, hingga Lei Jun (Founder & CEO Xiaomi) dengan produk Xiaomi yang mampu mengguncang pasar manufaktur sekelas Samsung dan Apple di seluruh penjuru dunia menjadi salah satu sampel dari generasi ini.


Tapscott sendiri mendefinisikan Net Gen sebagai generasi yang lahir dalam rentang Januari 1977 sampai dengan Desember 1997. Dengan demikian otomatis dari tahun kelahiran saja kita dapat menentukan orang tersebut dapat kita masukkan ke dalam list Net Gen atau tidak. Di Amerika Serikat sendiri generasi ini menempati proporsi paling tinggi dibandingkan dengan lainnya, karena menempati 27 persen populasi total penduduk AS atau 81.1 juta jiwa. Istilah Net Gen itu sendiri ditujukan kepada generasi ini dikarenakan generasi inilah yang merupakan generasi pertama yang terpapar dengan internet, perangkat komputer dan gadget serba canggih dan mampu beradaptasi dengan cepat. Dengan segala keunggulannya, Net Gen mampu beradaptasi dengan mereka (komputer, gadget, broadband internet dsb -red) dan menggunakannya sebagai piranti yang mampu membuat Net Gen looks different dibanding dengan generasi lainnya.


Kita mungkin dapat dibuat tercengang dengan kiprah Net Gen di luar sana. Sebut saja Ben Rattray, CEO sekaligus founder dari Change.org, Astrid Klein dan Mark Dytham founder Pecha Kucha, Evan Williams dkk yang menemukan Twitter pada 2006 silam. Tetapi kemudian muncul pertanyaan dimana Net Gen kita yang made in Indonesia ?  

Memang bukanlah hal yang mudah mencari sekeping informasi terkait kiprah para Net Gen made in Indonesia di era banjir informasi saat ini. Informasi tentang prestasi adalah hal yang mahal saat ini, apresiasi juga sulit untuk dicari.


Saya ingin kembali pada publikasi yang dikeluarkan oleh UNFPA Indonesia dengan tajuk Investing in Youth People in Indonesia yang setidaknya bisa menjadi angin segar. Dalam publikasi UNFPA (United Nations Population Fund) Indonesia yang dirilis pada 10 Desember 2014, UNFPA Indonesia menunjukkan perhatiannya kepada generasi muda (net gen) Indonesia yang dinilai mampu menjadi inspirasi bagi Net Gen yang lain. Total terdapat 21 Net Gen yang dipilih oleh panel dari UNFPA dengan mempertimbangkan rekam jejak yang mereka torehkan dan impact factor mereka terhadap masyarakat luas. Bertajuk 21 Inspiring Youth Leaders UNFPA memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap 21 Net Gen Indonesia yang dinilai mampu memberikan inspirasi kepada Net Gen lainnya.

Menilik lebih lanjut tentang karakteristik yang melekat pada Net Gen. Karakteristik yang unik dari Net Gen memang membedakannya dengan yang lain. Termasuk eight norms yang mereka jadikan pegangan : freedom, customize, scrutiny, integrity, entertainment, collaboration, speed, dan innovation. Beberapa norms ini juga akan sedikit dibahas lebih lanjut dalam artikel ini, sebagai sedikit deskripsi singkat mengapa saya menjuluki mereka dengan Net Gen seperti yang Tapscott katakan dalam bukunya.


#1 Collaboration is the solution!

Mereka percaya dan paham betul definisi dari kolaborasi. Dalam hal ini arogansi masing-masing pihak ditempatkan dengan proporsi yang semestinya. Net Gen sangat percaya kolaborasi dapat menjadi solusi mengatasi masalah yang ada di masyarakat. Saya ingin mengambil contoh hasil kerja dari Timmy dan Vikra yang sukses dengan KitaBisa.com. Berawal dari niatan untuk membantu berbagai aktivitas sosial yang banyak membutuhkan dana, mereka mulai mengeksekusi dan mengemas "bantuan" mereka dengan mendirikan website dan foundation yang bergerak berbasis crowdfunding. KitaBisa.com berkolaborasi dengan berbagai social activist termasuk juga Rumah Perubahan milik Rhenald Kasali. Di launching pada 6 Juli 2013 KitaBisa.com telah membantu menyukseskan lebih dari 25 proyek sosial dengan total bantuan lebih dari 85.000 USD. Prestasi tersebut juga berhasil KitaBisa.com meraih penghargaan People's Choice Award DBS-NUS Venture Challange Asia 2014 Singapura.

#2 Innovation makes you different!

Saya tentu tidak terkejut ketika nama Gamal Albinsaid masuk kedalam line-up 21 Inspiring Future Leaders versi UNFPA Indonesia. Dengan asuransi kesehatan berbasis sampah dan gerakan Indonesia Medika-nya Gamal sukses mengantarkan dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ini mendapatkan berbagai penghargaan seperti Unilever Sustainable Living Young Entrepreneur Award, Ashoka Young Changemakers Award, AusAID's Indonesian Social Innovator Award hingga Inspiring Scientific Award dari Kemenristek-DIKTI. Idenya yang sederhana namun solutif dan inovatif serta aplikatif mengenai asuransi kesehatan berbasis sampah mampu menyelesaikan dua problem sekaligus : biaya kesehatan yang mahal dan tingginya volume sampah. Saat ini proyek sosialnya telah melibatkan 88 sukarelawan, 15 dokter, dan 12 perawat yang kesemuanya terlibat di komunitas di Malang, Jawa Timur.

#3 Speed does matter!

Terlahir di provinsi yang tergolong rawan akan bencana alam, Daniel Oscar Baskoro memberikan ide kreatifnya untuk menyelesaikan dan membantu masalah mitigasi bencana. Yang menjadi perhatian besar Oscar adalah mengenai bagaimana upaya yang bisa dilakukan agar mitigasi bencana bisa menjadi lebih cepat sehingga dapat meminimalkan korban jiwa. Dia memanfaatkan teknologi untuk merealisasikan idenya. Oscar yang sejak SMA menekuni bidang IT menunjukkan kecemerlangannya dengan Google Glass yang dia miliki untuk membantu proses mitigasi kebencanaan agar dapat lebih cepat atau lebih dini. Program "Quick Disaster" yang Oscar rancang bersama rekannya yang juga berasal dari jurusan lain seperti Geofisika dan beberapa jurusan lain mampu mengantarkannya mendapatkan World Bank Global Winner Award 2014. Selain itu, programnya yang dia integrasikan dengan Google Glass yang dia miliki, juga mampu mengantarkannya juga ke Silicon Valley dan juga bertemu dengan CEO Apple, Tim Cook.

Technology makes a huge difference in times of disaster.

#4 Entertainment is everything!

Net Gen terkenal sangat selektif dalam memilih apa yang akan menjadi pekerjaannya kedepan dan preferensi passion juga akan menentukan segalanya. Tak terkecuali dari aspek entertainment, pekerjaan yang ditekuni wajib memenuhi passion yang mereka miliki. Hal itu berlaku pula pada Karina Salim. Passion dan kecintaannya pada dunia seni sejak kecil, Karina memutuskan untuk menekuni balet, drama musikal, menyanyi hingga tari kontemporer. Karirnya di bidang adu akting mampu mengantarkannya hingga ke Sundance Film Festival pada tahun 2014 dan film yang dia bintangi merupakan satu-satunya film Indonesia yang di screening disana.

Itulah sedikit bahasan mengenai Net Generation yang Don Tapscott sudah "ramalkan" dan telah dipadu dengan tulisan dari UNFPA Indonesia mengenai potensi anak muda (youth) yang ada di Indonesia. Dan, inilah 21 anak muda versi UNFPA Indonesia dengan platform gerakan, dan kontribusi diatas rata-rata kepada masyarakat (download).

Yap! Inilah Net Gen Indonesia dengan segala kontribusinya yang patut kita apresiasi. Ditengah-tengah hingar bingar kondisi perpolitikan saat ini ditambah dengan minimnya pemberitaan terkait prestasi anak muda, inilah mereka, datang dengan segala optimisme yang patut kita apresiasi. Meskipun berbeda platform pergerakan, mereka punya sesuatu yang dapat mereka banggakan tanpa sedikitpun menanggalkan identitas dan passion mereka. Selamat datang Net Gen Indonesia! (*)

21 Inspiring Future Leaders versi UNFPA Indonesia


Dibuat oleh : Aditya Doni 
Pada : 23 Maret 2015
Diupdate : -

Menanti Lahirnya Jabang Bayi di FK UGM

Scientivist Note #4

Scientivist -- Salah satu yang masih mengganjal di pikiran saya adalah masalah talentscouting bibit-bibit Mahasiswa Berprestasi (Mapres) yang ada di kampus sebesar Fakultas Kedokteran UGM. Inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi saya, Birrul Qodriyyah Mapres Utama FK UGM 2012-2013 yang juga merupakan Mahasiswa Terinspiratif Nasional 2013 dan Mokhammad Ali Zaenal Mapres Utama FK UGM 2014-2015. Karena setelah Birrul melaju hingga menjadi Mapres Utama UGM 2013, FK UGM belum lagi menelurkan bibit-bibitnya bahkan untuk sekadar masuk ke 10 besar tingkat universitas.

Beberapa konsep sebenarnya sudah ada dipikiran saya mengenai talentscouting ini. Tetapi, masih mengganjal karena memang belum terealisasi. Gagasan talentscouting ini bukanlah barang baru, Birrul sudah mengusulkannya jauh-jauh hari pada waktu dia menjadi Mapres tingkat fakultas tahun 2013. Namun, gagasannya menyublim tanpa bekas.

Momentum itu mulai muncul kembali baru-baru saja ketika tanpa sadar tiga orang Mapres FK UGM dari tiga tahun yang berbeda 2013-2015 ternyata berasal dari tiga prodi yang berbeda Birrul dari Program Studi Ilmu Keperawatan, saya sendiri dari Pendidikan Dokter, dan Ali dari Gizi Kesehatan. Harapannya ketika kami bisa berkolaborasi dengan baik, akan lahirlah "jabang bayi" di salah satu fakultas tertua di UGM ini yang nantinya dapat merangkul semua prodi yang ada di FK UGM.

"Jabang bayi" dimana semua calon-calon Mapres ini dipersiapkan dengan matang tanpa kompromi. "Jabang bayi" dimana calon-calon Mapres ini dibentuk dengan penuh optimistis untuk membawa nama fakultas dan universitas kelak. Jika ingin diibaratkan, "jabang bayi" ini hampir sama dengan pusat pendidikan dan latihan Kopassus TNI AD di Batujajar. Dimana pasukan terbaik TNI AD itu ditempa. Tapi, tentu calon-calon Mapres tidak perlu harus mengalami tempaan fisik dan mental seperti layaknya calon anggota Kopassus. Mereka cukup perlu memantaskan diri untuk mampu membawa nama baik fakultas ke tingkat yang lebih tinggi.

Bakal kurikulum sudah ada hanya perlu diskusi lebih lanjut mengenai realisasi dan rencana jangka panjang. Bagian Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas sudah memberikan lampu hijau bagi kami yang tentunya masalah pendanaan kami tidak perlu berpusing-pusing pula. Kami hanya perlu mendiskusikan konsep dan kurikulumnya saja, serta melakukan monitoring berkala kedepannya.

Gadjah Mada Inspiration Forum (GMIF) tentu akan menjadi patron utama untuk diadopsi kurikulumnya. Kurikulum seperti Public Speaking, Research Skills, Volunteerism, dan Debate tentu menjadi hal yang wajib untuk diberikan kepada para calon Mapres ini. Tentu masih ada beberapa kurikulum lagi yang nanti akan diberikan secara intensif mengingat Mapres ini bisa dianalogikan sebagai elite forces yang memiliki "combat skills" diatas rata-rata baik dari segi prestasi, pengalaman organisasi dan sebagainya.

Nama untuk si "jabang bayi" juga sudah disiapkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dilahirkan. Tentu harapannya tanpa harus menunggu 9 bulan lamanya untuk menanti "jabang bayi" ini lahir. Dan, harapannya setelah lahir program dalam "jabang bayi" ini, dia tidak terninabobokan begitu saja karena kesibukan dan arogansi beberapa pihak. Akhirnya, pada si "jabang bayi" ini kami titipkan harapan ini, harapan untuk membawa nama fakultas tetap harum. Viva Medika!

Gadjah Mada Inspiration Forum (GMIF) Meet Up

Roadshow KOMMAPRES dan GMIF di masing-masing fakultas


Dibuat oleh : Aditya Doni 
Pada : 18 Maret 2015
Diupdate : -

Antara Solo, Scientivist, dan Sate

Scientivist Note #3

Solo sungguh punya cerita untuk selalu dikunjungi, mulai dari lomba, youth forum, hingga sekadar mencari bahan untuk kebaya. 

Saya sudah cukup sering datang ke Solo, namun baru kali ini agak selow dan santai. Kesempatan ini datang ketika Ahad lalu saya memenuhi permintaan  kawan dari Kastrat de Geneeskunde (sebuah lembaga kajian ilmiah dan penelitian mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS) untuk tampil dalam salah satu rangkaian acara temu pengurus harian mereka.

Minggu ini acara memang cukup padat merayap, dari pembekalan koass, tes kesehatan, tes kejiwaan/psikiatri, rapat KOMMAPRES, seminar dalam rangka dies natalis, bertugas menjadi reporter hingga menyempatkan diri untuk bertandang ke kota Solo.

Berangkat pagi dari Stasiun Lempuyangan menuju ke Stasiun Solo Balapan menggunakan kereta sejuta umat para penglajo Solo-Yogyakarta : Prambanan Ekspress. Menaiki kereta ini, teringat akan cerita bahwa kereta Prameks adalah kereta yang pertama kalinya saya naiki setelah kurang lebih 13 tahun tidak naik kereta. Yap! Terakhir kali saya naik kereta adalah ketika usia 7 tahun, dalam perjalanan Semarang-Jakarta dengan kereta ekonomi. November 2012 lah saya mulai kembali akrab dengan kereta dan kereta yang pertama kali saya naiki adalah Prameks.  

So much change! 

Kereta 13 tahun yang lalu, sangat jauh berbeda dengan sekarang. Teringat betul ketika 13 tahun yang lalu menaiki kereta kelas ekonomi dengan kondisi yang tak karuan. Lebih banyak orang berdiri ketimbang yang duduk. Sekarang ? Terbilang bisa dikatakan semua dapat kursi untuk duduk, meskipun sebagian ada yang masih duduk dengan menggelar kertas koran bekas. Namun, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Sekarang juga sudah dilengkapi AC yang terasa sangat dingin kalau dinyalakan pagi-pagi buta seperti ini.

Scientivist
 
Kunjungan saya ke Solo bukan untuk membahas kereta lagi, melainkan untuk berdiskusi dengan para calon-calon Scientivist. Saya sebut mereka (calon) Scientivist karena memang mereka memiliki bakat untuk menggabungkan soft skills sebagai seorang Scientist (ilmuwan) dan kemampuan seorang Activist. Mindset sebagai Scientivist inilah yang saya harap dimiliki oleh teman-teman yang nanti memilih untuk terjun di Badan Analisis dan Pengembangan Ilmiah Nasional - Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (BAPIN-ISMKI). Ketimbang menjuluki mereka sebagai BAPIN-ers, saya lebih prefer memberi mereka nama scientivist sesuai platform gerakan yang nantinya mereka jalani.

Konsep scientivist ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, contoh konkret juga sudah ada. Bukan figur yang sembarangan, kalangan teknokrat tulen, beliau Prof. Dr.Ing, Bacharuddin Jusuf Habibie. Habibie lah yang menurut saya paling pas menggambarkan konsep scientivist ideal yang ada di benak saya. Sosok yang mampu memadukan soft skills seorang scientist (ilmuwan) yang dalam setiap gerakannya harus berlandaskan asas keilmiahan, mampu menganalisis dan menemukan masalah utama, cara kerja yang dapat dipertanggung jawabkan, berdasarkan data fakta yang riil, pengambilan keputusan yang sistematis, dan yang paling penting integritas. Integritas inilah nilai yang selalu dijunjung tinggi oleh para scientist di seluruh dunia. Karena memang dalam setiap tindakan dalam upaya-upaya penelitian mereka harus berlandaskan kejujuran dan kejujuran. Sekali mereka tidak jujur, reputasi nama baik dipertaruhkan. Habibie juga dinilai memiliki soft skills mumpuni seorang activist dimana beliau bekerja bukan mengatasnamakan pribadi, golongan, melainkan untuk kebaikan seluruh rakyat. Vokal dan lantang dalam berbicara, kebijakan-kebijakan yang sifatnya praktis aplikatif a la activist. Dan, yang paling penting penguasaan terhadap aspek lain di luar bidang keilmuan yang beliau miliki seperti sosial, politik, dan ekonomi!

Platform inilah yang saya harap mereka nanti bisa terapkan hingga bahkan setelah mereka terjun di dunia pasca kampus. Karena bagi saya, upaya memahami konsep inilah yang paling penting untuk dilakukan saat ini. Dan, di depan saya kemarin berkumpul calon-calon scientivist itu. Mereka hanya butuh pengalaman dan waktu saja. Saya hanya tidak ingin melihat calon-calon scientivist itu tidak mengenal dirinya sendiri. Saya tidak ingin keikutsertaan mereka dalam lembaga kajian ilmiah dan riset hanya berlandaskan "ngikut" teman, untuk gaya-gayaan, atau bahkan ikut lembaga tersebut cuma ingin supaya tidak dicap apatis! Nope! 

Antusiasme itulah yang ingin saya tularkan, konsep inilah yang ingin saya bagikan, dan nilai inilah yang ingin saya tekankan kepada adik-adik saya, teman sejawat saya di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Perjuangan melahirkan scientivist belum usai, bahkan baru saja dimulai.

Hingga akhirnya waktu menunjukkan pukul 12.00 siang pas. Mendiskusikan konsep ini tidak akan pernah habis, hingga perut saya meraung-meraung minta makan siang. Sate buntal adalah makanan pertama yang ingin saya cicipi siang ini. Karena kunjungan terakhir saya ke Solo yang tidak sempat mencicipi kuliner yang satu ini, saya jadi ngidam hingga sekarang.

Begitulah kunjungan saya ke Solo. Antara Solo, Scientivist, dan Sate (Buntal). (*)

Mengenalkan BAPIN-ISMKI sedikit mengenalkan konsep Scientivist

Sesi foto bersama dengan mahasiswa FK UNS 2014


 Dibuat oleh : Aditya Doni 
Pada : 9 Maret 2015
Diupdate : 10 Maret 2015

Kamis

Pecah Telur Publikasi Nasional

Scientivist Note #2
 
Scientivist -- Tepat lima hari euforia publikasi ilmiah skala nasional ini terasa. Saya belum mau terlalu berbesar hati dan berbangga diri untuk masalah ini. Bukan saya termasuk golongan yang kufur nikmat, sama sekali bukan! Memang ini adalah salah satu keinginan saya untuk berani mencoba publikasi ilmiah, minimal di skala nasional terlebih dahulu. Dan, untuk kesempatan kali ini saya mencoba peruntungan saya dengan men-submit salah satu review paper saya yang pernah saya presentasikan di Indonesia International (bio)Medical Students' Congress (INAMSC) 2013 di Universitas Indonesia.

Bercerita sedikit mengenai INAMSC 2013. Pada kesempatan tersebut, saya mempresentasikan paper saya berjudul "The Cardioprotective Effects of Citrus Flavonoid on Doxorubicin-induced Cardiotoxicity : A Prospective Review". Saya tertarik mengkaji hal tersebut karena memang saya tertarik pada dua bidang penelitian yaitu Oncology (Ilmu yang mempelajari tentang kanker) dan Cardiology (Ilmu yang mempelajari jantung). Jadilah keduanya saya gabungkan menjadi satu kedalam satu penelitian. Bukan tanpa sebab saya berminat untuk mempelajari keduanya, melainkan karena saya memiliki cita-cita yang besar untuk menjadi dokter spesialis Jantung dan Pembuluh Darah. Lalu Oncology nya? Ya, karena pada waktu itu, tema besar yang diusung dalam INAMSC 2013 memang tentang kanker. :)

Paper tersebut saya presentasikan di babak semifinal yang mempertemukan 60 semifinalis yang kemudian dibagi kedalam 3 kelas besar berisikan 20 tim. Jujur saja, pada waktu itu saya nervous sekali karena inilah pertama kali saya harus presentasi dalam Bahasa Inggris. Selain itu, kompetisi ini juga dihadiri oleh mahasiswa kedokteran dari Filiphina, Bangladesh, Serbia, Malaysia, Brasil dan tentunya mahasiswa dari beberapa universitas dalam negeri.

Presentasi berjalan dengan baik tanpa kendala berarti kecuali nervous itu tadi. Dibantai, dicecar, oleh tiga dewan juri sudah bukan barang istimewa bagi saya. Let it flow aja lah... :) Sampai, tiba saatnya esok hari pengumuman 6 besar finalis. Keenam finalis diminta untuk mempresentasikan paper nya di depan kelas besar yang notabene berisi 60 tim. Tibalah saat pengumuman, 4 tim sudah disebutkan dan salah satunya adalah tim dari kelas dimana saya berasal.

"Tinggal dua lagi nih, masuk nggak ya ?", ujarku dalam hati.
"Masa' pulang ga bawa apa-apa ? Udah bolos kuliah beberapa hari, keluar ongkos buat ini itu, korban waktu. Masa' nihil ?"

"Aditya Doni Pradana, with paper entitled 'The Cardioprotective Effects of Citrus Flavonoid on Doxorubicin-induced Cardiotoxicity : A Prospective Review !'", ujar MC yang suaranya cukup lantang hingga bangku belakang dari Ruang Auditorium, Perpustakaan Pusat UI.

"Oke, kita presentasi lagi habis ini. Siap?", kataku pada partnerku.
"Sip!", sembari tersenyum simpul.

Sebenarnya kita sama-sama tahu kalau kita sama-sama panik. Tapi yaa... Sembunyikan itu dulu untuk nanti. :). It's not the right time!

Presentasi dimulai dan kami diberi waktu 15 menit termasuk tanya jawab dengan 5 orang juri. Ceritanya bagaimana ? Ya begitulah ~~ Dan, esok harinya diumumkan lah pemenang.  


We got the 4th Winner in 1st INAMSC 2013!!! :D

Lalu JIMKI ?

Setelah event tersebut berlangsung kurang lebih 1 tahun. Saya berpikir alangkah baiknya, saya publish saja paper ini ke jurnal ilmiah nasional. Hitung-hitung biar nggak mubadzir dan ajang latihan nulis paper juga. Maret 2014 saya putuskan untuk submit ke Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI). Menunggu kurang lebih 4 bulan hingga bulan Juli hingga JIMKI Vol. 2 No.2 launching, dan setelah launching saya tidak menemukan judul paper saya di dalam daftar isi.

"Masa' JIMKI aja nggak mau nerima naskahku sih?! What's wrong with my paper ?"

Dari sana, saya coba koreksi semuanya. Mulai dari tata tulisan, konten, hingga referensi tidak ada yang terlewatkan. Kemudian, saya berencana untuk mencoba lagi untuk re-submit untuk JIMKI Vol. 3 No. 1. Yap! Tapi, justru saking sibuknya saya waktu itu dengan organisasi waktu itu dan juga mengurus skripsi saya yang sudah masuk tahap final (ujian pendadaran) alhasil paper yang sudah siap ini malah kelupaan untuk di submit. Menyesal pasti. Lalu mau bagaimana lagi ? :"

Akhirnya, saat JIMKI terbit beberapa hari yang lalu saya memutuskan untuk mengunduhnya dari website BIMKES. Saya pun iseng-iseng untuk melihat paper siapa aja yang masuk, barangkali ada beberapa rekan sejawat yang saya kenal. Benar saja, ada nama Surya Wijaya dari Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, dan Putri Alfiantya dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Keduanya sama-sama pernah ketemu di lomba. Mas Surya ini setahu saya tidak pernah absen artikelnya masuk JIMKI sejak tiga edisi terakhir, sedangkan Putri ini kedua kalinya papernya masuk JIMKI. Seleksi paper di JIMKI cukup ketat, karena JIMKI menganut review berjenjang dari tingkat mahasiswa hingga mitra bestari (reviewer) senior yang notabene adalah beberapa dosen dari beberapa perguruan tinggi.

Saya terkejut ketika mendaratkan mata saya di kolom Tinjauan Pustaka, disana tertulis nama saya : Aditya Doni Pradana dengan judul paper milik saya.

"Perasaan kapan submit nya ya? Kok tiba-tiba ada paper saya disana?"

Belakangan saya akhirnya tahu, ternyata partner saya yang memasukkan artikel ini ke redaksi JIMKI tanpa sepengetahuan saya yang merupakan first author. Pengakuan itupun meluncur dari mulut partner saya, dengan ekspresi flat dan tanpa menyesal.

"Ya udah nggak apa-apa, toh paper ini juga punya kamu sama aku. Tapi, lain kali kasih tahu lah minimal", ujar saya.
"Iya deh, tapi memang nggak mau ngasih tahu dulu sampai ada hasilnya", jawabnya dengan ekspresi yang masih flat dan tanpa rasa menyesal.
"Memang sengaja submit dari email ku, kemarin juga sempat ditanya sama redaksi kok bukan first author yang submit ?", sambungnya.
"Terus ?"
"Ya udah, kujawab via email kalau misal first author nya lagi tidak sempat untuk submit"
"...."


Senang sebenarnya karena pada akhirnya bisa tembus. Tapi masih surprised aja gara-gara kelakuan partner yang satu ini. Alhamdulillah akhirnya juga lengkap sudah kewajiban saya sebagai seorang Sarjana menurut kriteria DIKTI. Kriteria DIKTI? Kriteria berdasarkan Surat Dirjen DIKTI No.152/E/T/2012 : Wajib Publikasi Ilmiah bagi S1, S2, S3. Dalam surat tersebut tertulis bagi mahasiswa S1 harus ada makalah yang terbit di Jurnal Ilmiah. Dan, itu merupakan kriteria minimal! Bersyukur karena Alhamdulillah sudah pecah telur untuk publikasi nasional. (Silahkan jika ingin mendownload bisa langsung saja kesini).

Di almari masih menunggu dua paper penelitian yang belum dapat giliran untuk publikasi. Insya Allah, harus bisa lebih baik dari paper saya sebelumnya yang diterima di JIMKI. Bismillah!

"Bila kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah." (Imam Al Ghazali). (*)

JIMKI Vol. 3 No. 1

Penampakan paper saya di JIMKI Vol. 3 No.1


Dibuat oleh : Aditya Doni 
Pada : 5 Maret 2015 
Diupdate : -

Selasa

Sebuah Cerita Kembalinya Harapan

Scientivist Note #1

Scientivist -- Fuuuuuuuh! Fuuuuuuuh! Seolah-olah meniup debu-debu yang ada diblog ini, saking sudah lamanya tidak dibuka. Bahkan, ditengok pun tidak. Dan, sepertinya sudah lama saya meninggalkan blog ini. Postingan terakhir tertanggal 24 Agustus 2011!! What?! It's almost 4 years ago!

Masih ingat betul pas jaman SMA masih addicted banget sama blog.
Masih ingat betul dulu bikin blog ini dari nol, nol kecil bahkan. Cari template, widget, exchange link, SEO (Search Engine Optimization), mencoba berbagai tips untuk meningkatkan traffic pengunjung.
Masih ingat betul bahkan pernah mencoba cari uang dari Google Adsense.
Ya! Itu hampir 4 tahun yang lalu!

Empat tahun itu saya "menghilang". Ya, 4 tahun! "Menghilang" itu adalah waktu yang saya gunakan untuk bertapa dan belajar menempa diri. Berbagai kegiatan, pengalaman bahkan penghargaan sempat saya cicipi semata-mata untuk membentuk karakter diri.

Selama empat tahun itulah, saya (juga) masih belajar berorganisasi. Memulai semua pengalaman soft skills dari organisasi di tingkat fakultas yang dulu masih banyak dilihat sebelah mata, hingga sekarang bercokol di organisasi nasional mahasiswa kedokteran. Memulai semua proses belajar di bangku kuliah dari golongan kutu buku (nerd) yang kupu-kupu (kuliah pulang), hingga saat ini "terlahir" menjadi mahasiswa yang kerjaannya pergi ke luar kota bahkan hanya untuk lomba dan rapat. Memulai bangku kuliah dari tahap mahasiswa cupu, hingga sekarang lulus dengan predikat Cumlaude dari Fakultas Kedokteran UGM dan sempat mencicipi predikat sebagai Mahasiswa Berprestasi (Mapres) Utama FK UGM 2013-2014. Semua berproses kawan. Dan saya tak mau melewatkan kesempatan itu!

Inilah cerita saya! Entah akan saya ceritakan kedalam berapa seri atau episode kedepan. Mungkin bisa jadi seperti Manufacturing Hope milik Pak Dahlan Iskan yang fenomenal itu (menurut saya). Saya masih belum berani menentukan! Yang jelas, inspirasi ini harus dibagi. Inspirasi ini harus diceritakan. Supaya kita bisa belajar bareng-bareng mengambil pelajaran di tengah krisis teladan dan krisis nilai saat ini. Karena saya percaya, generasi muda kita ini cuma menunggu waktu saja untuk "menumbangkan" generasi saat ini yang sudah dalam kondisi kritis. Percayalah!

Sebuah Cerita Kembalinya Harapan

Semifinal Nutrifood Leadership Award 2014


Dibuat oleh : Aditya Doni 
Pada : 3 Maret 2015
Diupdate : -

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms