Scientivist Note #8
Scientivist --Tempo hari yang lalu saya diminta menjadi salah satu perwakilan dari mahasiswa program studi Pendidikan Dokter untuk mengikuti workshop tertutup mengenai penyusunan Situational Judgement Test (SJT). SJT ini sendiri rencananya akan diterapkan di Fakultas Kedokteran UGM dalam beberapa tahun kedepan. SJT ini sebenarnya merupakan salah satu toolkit yang dikembangkan berbasis analisis psikometrik untuk menilai atau menguji partisipan apabila partisipan ditempatkan dalam suatu kondisi tertentu, bagaimana si partisipan tersebut merespon kondisi tersebut. Pilihannya diurutkan berdasarkan "Most effective/favorable" hingga "Least effective/favorable" menurut partisipan. Dalam SJT ini tidak dikenal jawaban benar atau salah.
SJT ini digadang-gadang dapat menjadi alat screening yang valid dalam menilai kecenderungan attitude dari mahasiswa yang kelak akan menjadi dokter lulusan FK UGM yang konon katanya salah satu FK terbaik se-Indonesia. Attitude bagi seorang dokter merupakan hal yang wajib dijunjung tinggi, karena di lapangan dokter akan berhadapan dengan pasien dengan segala problematika baik sosial, ekonomi hingga masalah inti pasien datang ke seorang dokter : penyakit (disease). Terkadang dokter sudah benar memberikan terapi yang sesuai dengan standar pengobatan, namun pasien bisa memandang dokter sebagai seorang yang tidak sopan apabila cara berperilaku atau bersikap (attitude) kita tidak baik dimata pasien.
Saya tidak ingin membahas lebih lanjut mengenai SJT atau permasalahan attitude, justru ada hal menarik yang ingin saya ceritakan. Barangkali bukan cerita tentang SJT atau attitude yang menarik perhatian saya. Perhatian saya tertuju pada salah satu sosok yang juga dosen, senior sekaligus sejawat saya. Beliaulah dr. H. Edy Moeljono, Sp.Rad(K). Saya memang belum pernah mendapat kuliah hand-on langsung dari beliau, tapi justru pada kesempatan workshop yang singkat itu saya bisa mengenal beliau lebih dekat dengan pemikirannya.
Sejawat yang merupakan dokter alumnus Christian-Albrechts-Universität zu Kiel (Kiel University) Jerman memberikan pandangan yang cukup menyentak pemikiran saya waktu itu. Ada beberapa poin yang sempat saya ingat dari apa yang beliau sempat share-kan kepada kami.
Pergeseran Ideologi : Idealis menjadi Pragmatis-praktis
Adanya pergeseran tradisi belajar yang semula berkiblat pada buku teks kini bergeser menjadi slide-oriented atau diktat. Dari sini beliau mulai menilai adanya kecenderungan pergeseran ideologi mahasiswa yang semula idealis menjadi pragmatis-praktis. Banyak yang berdalih jika membaca textbook justru hanya buang-buang waktu, dan justru apa yang dibaca tidak keluar dalam ujian. Sah-sah saja memang jika ada yang berpendapat demikian. Namun, justru yang perlu ditekankan dalam esensi belajar adalah paham secara komprehensif terhadap materi yang didapatkan dan dapat menghubungkannya dengan materi-materi yang pernah diajarkan sebelumnya. Di textbook lah sebenarnya pemahaman komprehensif itu dapat dicapai. Textbook jadi bukti shahih dalam belajar karena dalam penyusunannya melibatkan banyak pakar, dimana disana tercapai konsensus dalam merumuskan apa yang akan ditulis. Sedangkan, slide dosen sifatnya hanya untuk membantu mempermudah pemahaman mahasiswa dalam mempelajari textbook. Dari pendapat yang saya sebutkan sebelumnya, memang terlihat bagaimana kecenderungan banyak mahasiswa mulai berpikir pragmatis-praktis ketimbang idealis. "Ideologi pragmatis-praktis menjadi sangat berbahaya jika dibiasakan secara terus menerus, dari sana berangkatlah keinginan serba instan serba cepat dalam memperoleh segala sesuatu yang diinginkan", ujar dokter yang menekuni radiologi (anak) ini.
Fenomena split on ideas yang semakin majemuk
Banyak peraturan dirumuskan namun justru banyak pula yang dilanggar oleh para perumusnya. Begitulah kira-kira apa yang menjadi kekhawatiran dokter Edy. Fenomena split on ideas yang makin majemuk. Dalam kesempatan singkat tersebut beliau yang juga sempat menjadi Kepala Bagian Radiologi FK UGM-RSUP. Dr Sardjito menuturkan pengalaman beliau yang sempat mengenyam pendidikan dibawah Prof. Ismangoen, menuturkan bagaimana Prof. Ismangoen memberi contoh bagi juniornya dulu. Ketika peraturan mengharuskan pegawai atau dosen datang tepat pukul 07.30 WIB, Prof. Ismangoen bahkan sudah datang pukul 07.00 WIB. Mau tidak mau, suka tidak suka pegawai di Bagian Anak justru datang lebih awal dari Prof. Ismangoen. Budaya ewuh pakewuh masih terasa betul di jaman itu. Memang terkesan sangat tegas, tapi itulah budaya disiplin yang memang perlu ditanamkan pada para calon dokter khususnya di FK UGM.
"Jika ingin memperbaiki attitude mahasiswa, perbaiki lah dulu attitude kita. Karena dari sanalah mahasiswa mencontoh tiap perbuatan kita !", ungkapnya.
Dokter yang benar-benar D.O.K.T.E.R
Ada suatu yang justru menarik diakhir presentasi beliau. Bagaimana menjadi seorang dokter yang benar-benar D.O.K.T.E.R. Presentasi ini dibawakan begitu ringan oleh beliau, sehingga mudah untuk dicerna dan diingat oleh kami.
D = Disiplin. Parameter disiplin menjadi parameter yang sangat ditekankan disini. Mengingat profesi dokter adalah profesi yang berurusan dengan hidup dan matinya sesorang, parameter ini menjadi sangatlah penting. Disiplin terhadap waktu menjadi salah satu nilai yang wajib ditaati. Beliau menambahkan, disiplin yang diterapkan dan dicontohkan oleh Prof. Ismangoen di Departemen Ilmu Kesehatan Anak telah melahirkan orang-orang hebat di Departemen tersebut.
O = Optimis. "Bagaimana jadinya kalau dokter tidak memiliki rasa optimis ?" Kini hal tersebut menemui relevansinya. Ketika proses persaingan global terhadap tenaga kesehatan semakin menjadi-jadi. Penerapan ASEAN Economic Community 2015 menjadi awal globalisasi di tingkat ASEAN. Salah satu poin di dalamnya adalah mengatur mengenai harmonisasi arus barang dan jasa dari dan ke negara-negara ASEAN, tak terkecuali jasa di sektor kesehatan. Rasa-rasanya tidak ada lagi yang perlu kita risaukan untuk tetap berdiri optimis menghadapi persaingan global ini. Persaingan sudah di depan mata, memilih untuk pesimistis sama saja memilih untuk "bunuh diri" bukan ?.
K = Komprehensif. Komprehensif yang dimaksudkan disini adalah menyeluruh. Alur berpikir sistemik (systemic thinking) menjadi pegangan baik mulai dari skala individualistik hingga yang menyangkut masyarakat dan pemerintahan. Di skala individualistik, dokter Edy mencontohkan bagaimana terjadi pergeseran tren proses terapi pada kebanyakan dokter yang lebih menitikberatkan simtomatik daripada terapi kausatif. "Jika ada anak datang dengan demam, jangan buru-buru diberi obat demam dan disuruh pulang. Cek dulu agen kausatif nya!", begitu ujarnya dengan sedikit penekanan. Karena memang pada prinsipnya, wrong diagnosis, wrong treatment. Untuk itu, mengapa penting bagi dokter untuk berpikir dan berkerja secara komprehensif disini.
T = Tanggung Jawab. Be responsible with what you have done! Dokter merupakan profesi luhur yang tiap hari berurusan dengan kesehatan manusia. Kita tidak boleh melepaskan diri terhadap baik dan buruk hasil yang kita terima, setelah kita melakukan sesuatu. Sikap inilah yang nanti akan tercermin sebagai kehati-hatian dokter dalam menentukan apa yang nanti akan diberikan kepada pasiennya.
E = Empati. Poin ini sering menjadi bahasan ketika masa pendidikan di pre klinik. Intinya pasien hanya ingin dimengerti. Pasien datang ke Anda dengan segala latar belakang penyakit dan sosioekonomik bertemu dengan Anda hanya ingin didengarkan dan disimak dengan baik apa yang Ia utarakan. Menjadi acuh bukanlah hal yang tepat, mengingat pasien datang ke Anda dengan stressor yang tinggi. Sehingga, pilihannya mulailah ber-empati dengan kondisi orang yang ada di hadapan Anda dan bangun ikatan batin dengan pasien Anda.
R = Ramah. Menjadi "ramah" seringkali dilupakan oleh dokter. Beban kerja berlebih, waktu istirahat yang kurang sering membuat dokter lupa untuk menjadi ramah. Banyak orang hanya ingin diperiksa oleh dokter, menceritakan keluhannya kepada dokter. Keramahan dokter seringkali juga mampu menjadi obat penawar bagi pasien kita yang sudah berlelah-lelah antri demi bertemu dengan dokter. Tak perlu berorientasi pada materi, berorientasi lah bahwa pasien adalah subjek bukan sebagai objek. Bayangkan diri Anda ditempatkan dalam situasi dan kondisi seperti yang pasien alami, maka Anda bisa lebih memperlakukan pasien dengan ramah.
Seketika itu pula saya teringat bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Menjadi dokter hanyalah satu diantara sekian banyak jalan yang dapat dipilih untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. "Niatkan lah apa yang kamu kerjakan sebagai ibadah, maka Gusti Allah akan menempatkanmu pada posisi yang mulia," begitulah pesan Bapak saya pernah sampaikan jauh-jauh hari. (*)
Dibuat oleh : Aditya Doni
Pada : 27 April 2015
Diupdate : -
Scientivist --Tempo hari yang lalu saya diminta menjadi salah satu perwakilan dari mahasiswa program studi Pendidikan Dokter untuk mengikuti workshop tertutup mengenai penyusunan Situational Judgement Test (SJT). SJT ini sendiri rencananya akan diterapkan di Fakultas Kedokteran UGM dalam beberapa tahun kedepan. SJT ini sebenarnya merupakan salah satu toolkit yang dikembangkan berbasis analisis psikometrik untuk menilai atau menguji partisipan apabila partisipan ditempatkan dalam suatu kondisi tertentu, bagaimana si partisipan tersebut merespon kondisi tersebut. Pilihannya diurutkan berdasarkan "Most effective/favorable" hingga "Least effective/favorable" menurut partisipan. Dalam SJT ini tidak dikenal jawaban benar atau salah.
SJT ini digadang-gadang dapat menjadi alat screening yang valid dalam menilai kecenderungan attitude dari mahasiswa yang kelak akan menjadi dokter lulusan FK UGM yang konon katanya salah satu FK terbaik se-Indonesia. Attitude bagi seorang dokter merupakan hal yang wajib dijunjung tinggi, karena di lapangan dokter akan berhadapan dengan pasien dengan segala problematika baik sosial, ekonomi hingga masalah inti pasien datang ke seorang dokter : penyakit (disease). Terkadang dokter sudah benar memberikan terapi yang sesuai dengan standar pengobatan, namun pasien bisa memandang dokter sebagai seorang yang tidak sopan apabila cara berperilaku atau bersikap (attitude) kita tidak baik dimata pasien.
Saya tidak ingin membahas lebih lanjut mengenai SJT atau permasalahan attitude, justru ada hal menarik yang ingin saya ceritakan. Barangkali bukan cerita tentang SJT atau attitude yang menarik perhatian saya. Perhatian saya tertuju pada salah satu sosok yang juga dosen, senior sekaligus sejawat saya. Beliaulah dr. H. Edy Moeljono, Sp.Rad(K). Saya memang belum pernah mendapat kuliah hand-on langsung dari beliau, tapi justru pada kesempatan workshop yang singkat itu saya bisa mengenal beliau lebih dekat dengan pemikirannya.
Sejawat yang merupakan dokter alumnus Christian-Albrechts-Universität zu Kiel (Kiel University) Jerman memberikan pandangan yang cukup menyentak pemikiran saya waktu itu. Ada beberapa poin yang sempat saya ingat dari apa yang beliau sempat share-kan kepada kami.
Pergeseran Ideologi : Idealis menjadi Pragmatis-praktis
Adanya pergeseran tradisi belajar yang semula berkiblat pada buku teks kini bergeser menjadi slide-oriented atau diktat. Dari sini beliau mulai menilai adanya kecenderungan pergeseran ideologi mahasiswa yang semula idealis menjadi pragmatis-praktis. Banyak yang berdalih jika membaca textbook justru hanya buang-buang waktu, dan justru apa yang dibaca tidak keluar dalam ujian. Sah-sah saja memang jika ada yang berpendapat demikian. Namun, justru yang perlu ditekankan dalam esensi belajar adalah paham secara komprehensif terhadap materi yang didapatkan dan dapat menghubungkannya dengan materi-materi yang pernah diajarkan sebelumnya. Di textbook lah sebenarnya pemahaman komprehensif itu dapat dicapai. Textbook jadi bukti shahih dalam belajar karena dalam penyusunannya melibatkan banyak pakar, dimana disana tercapai konsensus dalam merumuskan apa yang akan ditulis. Sedangkan, slide dosen sifatnya hanya untuk membantu mempermudah pemahaman mahasiswa dalam mempelajari textbook. Dari pendapat yang saya sebutkan sebelumnya, memang terlihat bagaimana kecenderungan banyak mahasiswa mulai berpikir pragmatis-praktis ketimbang idealis. "Ideologi pragmatis-praktis menjadi sangat berbahaya jika dibiasakan secara terus menerus, dari sana berangkatlah keinginan serba instan serba cepat dalam memperoleh segala sesuatu yang diinginkan", ujar dokter yang menekuni radiologi (anak) ini.
Fenomena split on ideas yang semakin majemuk
Banyak peraturan dirumuskan namun justru banyak pula yang dilanggar oleh para perumusnya. Begitulah kira-kira apa yang menjadi kekhawatiran dokter Edy. Fenomena split on ideas yang makin majemuk. Dalam kesempatan singkat tersebut beliau yang juga sempat menjadi Kepala Bagian Radiologi FK UGM-RSUP. Dr Sardjito menuturkan pengalaman beliau yang sempat mengenyam pendidikan dibawah Prof. Ismangoen, menuturkan bagaimana Prof. Ismangoen memberi contoh bagi juniornya dulu. Ketika peraturan mengharuskan pegawai atau dosen datang tepat pukul 07.30 WIB, Prof. Ismangoen bahkan sudah datang pukul 07.00 WIB. Mau tidak mau, suka tidak suka pegawai di Bagian Anak justru datang lebih awal dari Prof. Ismangoen. Budaya ewuh pakewuh masih terasa betul di jaman itu. Memang terkesan sangat tegas, tapi itulah budaya disiplin yang memang perlu ditanamkan pada para calon dokter khususnya di FK UGM.
"Jika ingin memperbaiki attitude mahasiswa, perbaiki lah dulu attitude kita. Karena dari sanalah mahasiswa mencontoh tiap perbuatan kita !", ungkapnya.
Dokter yang benar-benar D.O.K.T.E.R
Ada suatu yang justru menarik diakhir presentasi beliau. Bagaimana menjadi seorang dokter yang benar-benar D.O.K.T.E.R. Presentasi ini dibawakan begitu ringan oleh beliau, sehingga mudah untuk dicerna dan diingat oleh kami.
D = Disiplin. Parameter disiplin menjadi parameter yang sangat ditekankan disini. Mengingat profesi dokter adalah profesi yang berurusan dengan hidup dan matinya sesorang, parameter ini menjadi sangatlah penting. Disiplin terhadap waktu menjadi salah satu nilai yang wajib ditaati. Beliau menambahkan, disiplin yang diterapkan dan dicontohkan oleh Prof. Ismangoen di Departemen Ilmu Kesehatan Anak telah melahirkan orang-orang hebat di Departemen tersebut.
O = Optimis. "Bagaimana jadinya kalau dokter tidak memiliki rasa optimis ?" Kini hal tersebut menemui relevansinya. Ketika proses persaingan global terhadap tenaga kesehatan semakin menjadi-jadi. Penerapan ASEAN Economic Community 2015 menjadi awal globalisasi di tingkat ASEAN. Salah satu poin di dalamnya adalah mengatur mengenai harmonisasi arus barang dan jasa dari dan ke negara-negara ASEAN, tak terkecuali jasa di sektor kesehatan. Rasa-rasanya tidak ada lagi yang perlu kita risaukan untuk tetap berdiri optimis menghadapi persaingan global ini. Persaingan sudah di depan mata, memilih untuk pesimistis sama saja memilih untuk "bunuh diri" bukan ?.
K = Komprehensif. Komprehensif yang dimaksudkan disini adalah menyeluruh. Alur berpikir sistemik (systemic thinking) menjadi pegangan baik mulai dari skala individualistik hingga yang menyangkut masyarakat dan pemerintahan. Di skala individualistik, dokter Edy mencontohkan bagaimana terjadi pergeseran tren proses terapi pada kebanyakan dokter yang lebih menitikberatkan simtomatik daripada terapi kausatif. "Jika ada anak datang dengan demam, jangan buru-buru diberi obat demam dan disuruh pulang. Cek dulu agen kausatif nya!", begitu ujarnya dengan sedikit penekanan. Karena memang pada prinsipnya, wrong diagnosis, wrong treatment. Untuk itu, mengapa penting bagi dokter untuk berpikir dan berkerja secara komprehensif disini.
T = Tanggung Jawab. Be responsible with what you have done! Dokter merupakan profesi luhur yang tiap hari berurusan dengan kesehatan manusia. Kita tidak boleh melepaskan diri terhadap baik dan buruk hasil yang kita terima, setelah kita melakukan sesuatu. Sikap inilah yang nanti akan tercermin sebagai kehati-hatian dokter dalam menentukan apa yang nanti akan diberikan kepada pasiennya.
E = Empati. Poin ini sering menjadi bahasan ketika masa pendidikan di pre klinik. Intinya pasien hanya ingin dimengerti. Pasien datang ke Anda dengan segala latar belakang penyakit dan sosioekonomik bertemu dengan Anda hanya ingin didengarkan dan disimak dengan baik apa yang Ia utarakan. Menjadi acuh bukanlah hal yang tepat, mengingat pasien datang ke Anda dengan stressor yang tinggi. Sehingga, pilihannya mulailah ber-empati dengan kondisi orang yang ada di hadapan Anda dan bangun ikatan batin dengan pasien Anda.
R = Ramah. Menjadi "ramah" seringkali dilupakan oleh dokter. Beban kerja berlebih, waktu istirahat yang kurang sering membuat dokter lupa untuk menjadi ramah. Banyak orang hanya ingin diperiksa oleh dokter, menceritakan keluhannya kepada dokter. Keramahan dokter seringkali juga mampu menjadi obat penawar bagi pasien kita yang sudah berlelah-lelah antri demi bertemu dengan dokter. Tak perlu berorientasi pada materi, berorientasi lah bahwa pasien adalah subjek bukan sebagai objek. Bayangkan diri Anda ditempatkan dalam situasi dan kondisi seperti yang pasien alami, maka Anda bisa lebih memperlakukan pasien dengan ramah.
Seketika itu pula saya teringat bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Menjadi dokter hanyalah satu diantara sekian banyak jalan yang dapat dipilih untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. "Niatkan lah apa yang kamu kerjakan sebagai ibadah, maka Gusti Allah akan menempatkanmu pada posisi yang mulia," begitulah pesan Bapak saya pernah sampaikan jauh-jauh hari. (*)
Dibuat oleh : Aditya Doni
Pada : 27 April 2015
Diupdate : -